skip to main | skip to sidebar

Feb 29, 2012

Apakah Ngidam Itu Mitos?

ngidam,aja
Benarkah mengidam lantaran keinginan si jabang bayi? Jangan- jangan itu cuma alasan saja. Atau jangan-jangan karena si calon ibunya saja yang manja atau ingin cari perhatian.

CARI PERHATIAN Secara medis, menurut dr. Nasdaldy, Sp.OG dari RSIA Hermina Podomoro, tak ada alasan kenapa wanita hamil mengidam.
"Kebanyakan karena masalah psikologis. Secara medis tak ada kelainan. Banyak juga, kok, ibu hamil yang tak mengidam," terangnya.

Sementara psikolog Dra. Dharmayati Utoyo Lubis, MA, PhD. , berpendapat, pada trimester pertama kehamilan, terjadi perubahan besar pada tubuh seorang wanita.
"Jadi, bisa saja saja terjadi wanita hamil kekurangan zat tertentu yang menyebabkan ia sangat memerlukan sesuatu." Jika ngidam nya tak mengada-ada, misalnya ingin makanan yang manis atau yang banyak garam, barangkali saja tubuhnya memang kekurangan zat-zat tertentu. Tapi bila permintaannya aneh-aneh bahkan cenderung tak masuk akal,

"Biasanya ini berlatar belakang manja atau mungkin juga karena ia kurang mendapatkan perhatian dari suami," kata Nasdaldy.
"Tapi tak semua perempuan yang hamil itu manja, lo. Buktinya, banyak juga wanita yang enggak ngidam ," sambung Dharmayati pada kesempatan terpisah. Bahwa ada keinginan untuk mendapatkan perhatian, Dharmayati membenarkan. "Namun jangan menganggap perempuan berpura-pura saat ngidam , ya. Belum tentu, lo. Barangkali saja itu semua tak disadarinya. Jadi, minta perhatiannya dalam bentuk seperti itu." Yang pasti, Nasdaldy dan Dharmayati sepakat, bahwa ngidam merupakan salah satu bentuk pernyataan wanita bahwa kehamilan merupakan tanggung jawab berdua antara suami-istri.

"Wanita hamil merasa bahwa si suami harus ikut memikul tanggung jawab atas kehamilannya. Nah, keluarnya dalam bentuk seperti itu, mengidam," tutur Dharmayati.

Harap dipahami, perubahan yang muncul selama kehamilan bukan cuma hormonal, tapi juga emosional. Alhasil, muncul perasaan dalam diri si istri, "Saya membawa sesuatu yang sangat penting. Sebagai suami, kamu juga harus bertanggung jawab. Bukankah ini sesuatu yang maha penting dalam hidup kita?" Dengan demikian, mungkin saja si calon ibu bukan dengan sengaja cari perhatian lewat mengidam itu. Atau, seperti kata Nasdaldy tadi, bisa saja si wanita merasa tak diperhatikan, lalu muncul perasaan bahwa kehamilannya merepotkan. "Tapi bukan ngidam nya yang menyebabkan."

BELUM SIAP Sebenarnya, lanjut Nasdaldy, persoalan mengidam bisa dilihat dari latar belakangnya. Mungkin saja si wanita mendengar cerita dari orang-orang tentang pengalaman mengidam, lalu ia jadi ingin ngidam juga. "Ada pasien saya yang semula tak ngidam apa-apa, tapi begitu mendengar cerita dari temannya, ia kemudian ngidam juga." Latar belakang budaya juga ikut berpengaruh. Di negara Barat, misalnya, tak ditemukan istilah mengidam. "Buku-buku kedokteran Barat tak secara khusus menulis soal ngidam. Paling- paling ditulis, wanita yang sedang hamil muda gejalanya mual, muntah, dan sebagainya," tutur Nasdaldy.

Lagipula, tambahnya, di negara Barat orang sudah biasa mandiri. Mereka sudah sadar bahwa kehamilan membutuhkan kesiapan mental dan fisik. Nah, mereka yang mengidam ini, mungkin saja belum siap hamil. "Karena jika belum siap hamil, besar kemungkinan mentalnya juga belum siap. Akibatnya, ia 'meminta perhatian' dari sang suami." Karena itulah, tegas Nasdaldy, persiapan kehamilan amat perlu disiapkan. Jangan sampai si wanita merasa cuma ia sendiri yang menanggung kehamilannya, padahal itu hasil "produksi" berdua. "Bayangkan saja, kepala pusing, meriang, mual, dan inginnya muntah terus. Ini, kan, beban bagi wanita." Lain halnya jika pasangan, khususnya wanita, sudah merencanakan kehamilan dengan baik dan menyadari risiko dari kehamilan. Tingkat mengidamnya bisa berkurang karena ia sudah siap menghadapi segala risiko. "Dengan menyadari dampak yang bakal timbul pada saat hamil, wanita bisa menyiapkan dirinya. Termasuk mengatasi perasaan dan kondisi tubuh yang sangat tak nyaman," tutur Nasdaldy. Buat para suami, jangan anggap enteng loh, soal persiapan kehamilan ini. Sebab,ketidak siapan istri menghadapi kehamilan adakalanya dapat menimbulkan keinginan "balas dendam" lewat mengidam. "Tapi sangat jarang terjadi dan sifatnya sangat kasuistik," kata Dharmayati.

Kendati demikian, para suami perlu berhati-hati. Terlebih jika hubungannya dengan istri sudah tak baik. Jangan sampai suami menuntut harus punya anak sesegera mungkin padahal istrinya sama sekali belum siap. Apalagi ditambah tak ada perhatian sama sekali dari suami selama kehamilan. "Ya, si istri pasti akan marah besar. Jadilah ia 'balas dendam' lewat mengidam."

BUKAN MAUNYA JANIN Alhasil, mengidam juga tak ada kaitannya dengan si jabang bayi. Apalagi berpengaruh langsung terhadap sang janin jika ngidamnya si calon ibu tak terpenuhi. "Yang minta, kan, sang ibu, bukan si janin di kandungan!" tukas Nasdaldy. Yang sebenarnya terjadi ialah ada konflik psikologis pada si calon ibu apabila ngidam nya tak terpenuhi. "Nah, konflik psikologis ini bisa bermacam-macam. Mulai dari perasaan menolak kehamilan, yang bisa berpengaruh pada bayi. Perasaan reject pada kehamilan ini memungkinkan terjadi kelainan pada bayi," terang Nasdaldy.

Dharmayati membenarkan, "Depresi yang dialami ibu hamil akan besar sekali kaitannya dengan janin. Meskipun belum ada penelitian yang jelas menunjukkan bahwa ibu hamil yang depresi akan melahirkan anak yang depresi pula." Korelasi yang biasanya muncul adalah jika selama hamil si calon ibu mengalami gangguan emosional, maka anak yang lahir berat badannya akan kurang dibanding berat badan bayi lain. "Padahal, berat badan bayi sangat penting. Penelitian di Jepang menunjukkan, apakah anak itu akan tumbuh menjadi bayi yang sehat atau tidak, tergantung juga pada berat badan waktu lahir," tutur Dharmayati. Jadi, tegas Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi UI ini, sifatnya korelasional, bukan sebab-akibat. "Mungkin ada faktor lain yang kita tak tahu. Tapi bayangkan, jika orang depresi, biasanya ia tak mau makan. Nah, ini khan menganggu pertumbuhan janin. Misalnya lagi karena depresi lantas ingin tidur terus atau tak bisa tidur dan minum obat tidur. Kan, dampaknya bisa ke bayi juga." Lantaran itulah Nasdaldy menekankan perlunya penjelasan dokter tentang proses kehamilan dan dampak yang harus dihadapi sehingga ia mengerti, kehamilan ialah proses alamiah yang tak perlu ditakutkan. "Cuma, pada awal kehamilan memang muncul gejala yang tak menyenangkan. Tapi itu bukan suatu kelainan dan tak perlu ditakutkan karena bisa diatasi."

CUMA MITOS Sayangnya, masyarakat terlanjur percaya bahwa wanita hamil pasti mengidam. Maka kalau ada yang tak mengidam, orang malah bingung. "Ini cuma masalah persepsi. Orang menganggap, kalau hamil harus ngidam . Padahal tidak," tukas Nasdaldy. Apalagi jika pasangan, terutama si istri sudah siap menyambut kehamilan, umumnya tak akan mengidam. Mengidam, menurut Nasdaldy, tak ada sisi positifnya. Malah merepotkan. "Yang ada cuma efek yang tak menguntungkan." Misalnya, ibu hamil minta sesuatu tapi si suami tak mendapatkan. "Bisa saja ia merasa kesal dengan segala efeknya. Misalnya, jadi malas makan atau muncul perasaan menolak kehamilan. Akibatnya tentu akan berpengaruh pada janin yang tengah dikandungnya." Nasdaldy malah menegaskan, "Mengidam itu sebetulnya cuma mitos." Misalnya ibu hamil ngidam makan makanan pedas, maka anaknya kelak laki-laki. Padahal, "Jenis kelamin sudah ketahuan begitu terjadi pembuahan. Itu, kan, cuma kata orang." Begitupun bila dikatakan, "Ini permintaan si jabang bayi." Bahkan ada yang ngidam ingin mengelus kepala botak punya orang lain. "Itu, kan, enggak logis!" Dharmayati menganjurkan, wanita hamil sebaiknya bertanya kepada dirinya jika muncul pikiran yang aneh-aneh di benaknya. "Apa-apaan, sih, kok, saya mikirnya jadi begini?" Kalau memang capek, ya, kurangilah aktivitas. Yang penting, "Berusahalah untuk tak membawa pikiran negatif." Jadi, berpikirlah positif. Misalnya, "Sekian juta wanita hamil bisa menjalani kehamilannya dan melahirkan dengan baik, kenapa saya tidak?" Atau, "Bila saya enggak mau makan, nanti saya tak sehat. Kasihan bayi saya. Makanya saya harus makan." Dengan demikian, wanita hamil akan siap secara psikologis. "Kalau lebih siap secara psikologis, maka tak akan ngidam yang aneh-aneh." Dharmayati juga menyarankan, wanita hamil sebaiknya mengendalikan diri. Dalam arti agar suasananya enak, termasuk hubungannya dengan si bayi yang tengah dikandung. Lagipula, "Jika keinginannya aneh-aneh, tentu bisa menimbulkan konflik dengan pasangan, kan?"

EKSTRA SABAR Yang terpenting dalam kehamilan, seperti ditekankan Nasdaldy dan Dharmayati, ialah peran suami. "Suami harus memahami bahwa wanita yang sedang hamil itu temperamental. Kadang ada suami yang tak menyadari dan malah ikut-ikutan emosi," tutur Nasdaldy.

Suami juga harus sadar, kehamilan si istri merupakan tanggung jawabnya juga. Jadi, "Apa salahnya suami memberi perhatian lebih pada sang istri," lanjut Nasdaldy. Tentu perhatiannya tak perlu berlebihan. "Kalau dibuat-buat, nanti salah lagi. Yang wajar sajalah." Misalnya, sepulang kantor suami menanyakan pada istri, "Gimana, mualnya sudah berkurang apa belum." Ini saja sudah merupakan perhatian. Tapi jika sepulang kerja mendapatkan istri tengah muntah-muntah dan suami malah marah-marah, tentunya tak akan membantu istri. Nasdaldy juga menyarankan, suami sebaiknya tak menolak permintaan istri sepanjang permintaan itu masuk akal. "Kalau tidak, bisa-bisa istri enggak terima. Jadi, berusahalah memenuhinya. Minimal, berusaha mencari apa yang diinginkan istri. Kalaupun nggak dapat, ya, nggak apa-apa. Yang penting, kan, sudah berusaha." Dharmayati pun menyarankan agar suami ekstra sabar dan mengerti bahwa kesehatan dan emosi sang istri harus dijaga betul. "Kalau tidak, istri bisa depresi. Suami harus berusaha untuk lebih toleran. Yang paling bagus adalah berkomunikasi dengan baik." Misalnya, sepulang kantor istri sudah minta dimanja, suami bisa mengatakan, "Saya mandi dulu, ya." Jika istri minta yang aneh-aneh, lanjut Dharmayati, "Bicarakan juga secara baik-baik." Misalnya istri minta durian padahal bukan musimnya, katakan, "Sekarang durian lagi enggak musim. Saya harus cari ke mana?" Cobalah juga untuk memberikan alternatifnya, "Bagaimana kalau mangga saja? Kemarin aku lihat di pasar ada mangga harumanis. Besar-besar dan matang. Pasti rasanya enak dan manis, deh." Ajaklah istri ke suasana bercanda. Dengan begitu, istri juga bisa balik berpikir "biasa". "Oh, benar, juga. Biar ingin durian tapi kalau lagi enggak musim, ya, susah juga carinya. Iya, deh, beli mangga saja."

Pengertian, toleransi, dan perhatian ekstra suami akan sangat berperan mengurangi beban psikologis istri. Cobalah bayangkan. Anda membawa sesuatu yang beratnya lebih dari sekilo di perut, menyita tempat hingga Anda sesak napas, dan selama 9 bulan tak bisa melakukan aktivitas yang biasanya gampang, padahal ini sesuatu yang penting. Tidak mudah, bukan? Lagipula, tak ada ruginya, kok, berempati pada istri. Selain istri senang dan si janin bisa bertumbuh sehat, Anda pun jadi tak perlu kewalahan akibat ngidamnya istri.




Sumber: tabloidnova.com

No comments:

Post a Comment

 

personal blog Copyright © 2011 | Template created by O Pregador | Powered by Blogger